Cek Budaya – Meskipun sudah demikian populer, penyebutan “Baduy” sebenarnya ialah sebuah kekeliruan. Pasalnya, label ini sejatinya bukanlah identitas diri mereka. Sebutan “Baduy” merupakan sebutan yang disematkan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat adat sub-Sunda yang tinggal di wilayah Lebak, Banten.
Istilah bernada peyoratif ini ialah produk era kolonial Belanda. Berawal dari sebutan para peneliti Belanda, yang gegabah mempersamakan masyarakat ini dengan kelompok masyarakat suku di Arab, yaitu Badawi. Asosiasi tentang penolakan akan kemajuan dan modernisasi, hidup secara nomaden atau bahkan dianggap liar, jelas lekat dengan istilah Baduy.
Mereka lebih suka menyebut diri Urang Kanekes atau Urang Rawayan. Atau lebih khusus lagi, misalnya dengan menyebut nama asal kampung tempat tinggal mereka, seperti Urang Cibeo, Urang Cikartawana, Urang Cikeusik, dan lain sebagainya.
Atau juga mereka lazim disebut berdasar kategori posisi sosial mereka, yakni Urang Tangtu atau Urang Panamping. Dua istilah terakhir ini merupakan penyebutan lokal mereka sendiri, yang oleh masyarakat luar dikenal secara populer sebagai “Baduy Dalam” dan “Baduy Luar”.
Di antara dua kelompok di atas, sebenarnya masih ada lapisan ketiga. Lazim disebut sebagai Urang Dangka. Sebagai lapisan terluar Urang Kanekes, posisi kampung tinggal mereka berdampingan dengan masyarakat luar.
Mengenal lebih dekat Urang Kenekes tentu bakal ditemui banyak sisi menarik. Secara hiperbolik, khususnya pada Urang Tangtuboleh dikatakan bahwa masyarakat ini nisbi imun dari segala gerak perubahan dunia.
Bagaimana tidak. Berajangsana ke Kampung Cibeo, Cikeusik, atau Cikartawana, misalnya, di sana tidak bakalan ditemui penerangan lampu-lampu listrik. Ini bukan karena kebijakan pemerintah terkait program listrik masuk desa hingga kini belum menyentuh ketiga wilayah itu. Tapi senyatanya, lebih karena Urang Kanekessendiri memang tegas menolak listrik masuk kawasan desa mereka.
Beranjangsana ke sana juga tidak bakalan ditemui adanya sekolah-sekolah formal, sekalipun sekadar di tingkat pendidikan dasar. Ini juga bukan karena program pendidikan yang inklusif, yang saat ini tengah digelorakan oleh Pemerintah Joko Widodo belum merambah hingga ke pelosok-pelosok di kaki pegunungan itu. Namun, sekali lagi, uniknya, justru karena Urang Kanekes juga menolak pendidikan formal bagi anak-anak mereka.
Sekalipun demikian Urang Kanekes dikenal memiliki daya magnetis kuat bagi kedatangan orang luar. Dari yang sekadar bertujuan menikmati panorama alam dan keaslian iklim tropis hingga bermaksud melakukan kajian etnografis untuk menggali kekayaan khazanah lokal (local wisdom).
Kesederhanaan Urang Kanekes menjalani kehidupan sehari-hari, yang terlihat sengaja mengisolasi dan mengasingkan diri dari pengaruh luar (modernisasi), dan sikap kukuhnya pada aturan adat istiadat warisan nenek moyangnya, tentu menjadi pesona budaya tersendiri.
Kesederhanaan itu setidaknya tecermin kuat pada Urang Tangtu. Sejauh manapun Urang Tangtu hendak pergi ke suatu tempat maka harus ditempuh dengan berjalan kaki dan tanpa alas apapun.
Derajat Kepatuhan
Sekalipun masyarakat Kanekes tampak sangat sederhana, bukan berarti di sana tak ditemui sistem stratifikasi sosial. Sebutan Urang Tangtu atau disebut juga Urang Kejeroan; Urang Panamping atau disebut juga Urang Kaluaran; dan Urang Dangka; jelas adalah perwujudan stratifikasi sosial tersebut.
Tapi, akan salah sekiranya bagan stratifikasi sosial itu jika kemudian dibayangkan muncul berdasarkan kategori perbedaan kepemilikan materi seperti jamak pada sosiologi perkotaan. Jelas, bukan itu parameternya. Stratifikasi sosial Urang Kanekes diukur berdasarkan sejauh mana tingkat kepatuhan mereka terhadap aturan adat atau nilai-nilai luhur setempat. Disebut dengan nama pikukuh karuhun. Urang Kanekes tidak boleh mengubah dan melanggar segala apapun yang telah ditentukan sejak zaman Nabi Adam.
Seluruh keyakinan pikukuh karuhun itu mereka sebut “Agama Slam Sunda Wiwitan”. Menariknya ialah, Agama Slam Sunda Wiwitan adalah agama khusus buat Urang Kanekes dan tidak untuk disebarkan bagi masyarakat luar.
Sebuah keyakinan yang secara nomenklatur resmi dimasukkan pada kategori ‘kelompok penghayat’ ini, sering dikatakan oleh banyak peneliti sebagai buah sinkretisme antara khazanah lokal, Hindu-Budha, dan Islam. Selain tidak memiliki kitab suci sebagaimana agama-agama besar, lebih dari itu dari namanya Agama Slam Sunda Wiwitan pun tampak warna alkulturasi membebat tradisi ini.
Konon, menariknya, tugas utama tiap pribadi Urang Kanekes ialah menjalani tapa di mandala. Demikianlah konsepsi identitas yang terlihat kuat melekat dan disadari oleh Urang Kanekes sendiri. Mereka meyakini, tugas utamanya terlahir di bumi ialah melakukan tapa supaya keberadaan bumi ini selalu terjaga lestari dan harmoni.
Kata mandala secara etimologis berasal dari bahasa Sansekerta, yang berarti ‘lingkaran suci’. Dari konsep inilah, sistem stratifikasi sosial Urang Kanekes dirumuskan secara konsentris.
Kelompok Tangtu adalah mereka yang paling ketat menjaga pikukuh karuhun. Kawasan Tangtu menjadi kawasan dengan tingkat kemandalaan tertinggi. Konon, manusia pertama yang oleh Urang Kanekesdinisbatkan pada Nabi Adam sebagai nenek-moyang mereka sekaligus juga dinarasikan turun di bumi di kawasan Tangtu tersebut.
Secara geografis terletak paling jauh dari masyarakat luar dan meliputi tiga kampung. Yaitu, Kampung Cibeo atau Tangtu Parahiyangan, Kampung Cikeusik atau Tangtu Pada Ageung, dan Kampung Cikartawana atau Tangtu Kadu Kujang. Keseluruhan wilayah kampung Tangtu ini lazim disebut Tangtu Tilu (Tiga Tangtu). Ciri khas Urang Tangtu adalah pakaiannya berwarna putih dan memakai ikat kepala putih.
Setiap masyarakat Tangtu dipimpin oleh seorang Puun. Tugas Puun mengurusi masalah kerohanian dan bukan keduniawian. Artinya jika merujuk adanya Tangtu Tilu berarti juga terdapat tiga sosok Puun. Masing-masing Puun itu memiliki wewenang yang lebih spesifik.
Puun Tangtu Cibeo di Kampung Cibeo atau Tangtu Parahiyangan disebut sebagai Sang Prabu. Kualifikasi Puun ini mengemban fungsi sebagai sumber wibawa. Puun Tangtu Cikeusik di Kampung Cikeusik atau Tangtu Pada Ageung sebagai Sang Rama. Kualifikasi Puun ini mengemban fungsi sebagai sumber perilaku. Dan Puun Tangtu Cikartawana di Kampung Cikartawana atau Tangtu Kadu Kujang disebut sebagai Sang Resi. Kualifikasi Puun ini mengemban fungsi sebagai sumber bimbingan.
–
Kelompok Panamping adalah mereka yang oleh orang luar dikenal luas sebagai Baduy Luar. Berciri khas mengenakan pakaian hitam atau biru dan ikat kepala hitam, mereka juga biasa disebut Urang Kaluaran. Secara kuantitas masyarakat Panampingjumlahnya paling banyak.
Kawasan Panamping memiliki tingkat kemandalaan lebih rendah dan terletak di luar kawasan Tangtu. Secara ketentuan pikukuh karuhun, standar moralitas adat yang ditetapkan bagi masyarakat Panamping tentu lebih longgar dibandingkan dengan masyarakat Tangtu.
Keberadaanya tersebar di 26 kampung, yakni: Kaduketug, Cihulu, Sorokokod, Cigula, Karahkal, Gajeboh, Kaduketer, Cibongkok, Cicatang, Cicakal Muara, Cikopeng, Cicakal Girang, Cipaler, Cipiit, Cisagu, Babakan Ciranji, Cikadu, Cipeucang, Cijanar, Batubeulah, Cipokol, Pamoean, Kadukohak, Cisaban, dan Batara. Di setiap kampung itu dipimpin oleh seorang Kokolot Lembur atau Sesepuh Kampung.
Sejarah keberadaan penduduk di kampung-kampung itu beraneka ragam. Ada di antara mereka yang telah menetap di situ turun-temurun. Ada juga di antaranya yang merupakan pendatang atau pindahan dari warga Tangtu.
Merujuk sumber-sumber literatur berbasis penelitian etnografis, diketahui ada dua cara perpindahan. Pertama, pindah atas kemauan sendiri karena merasa tidak sanggup memenuhi ketentuan standar pikukuh karuhun yang telah ditetapkan bagi kelompok masyarakat Tangtu. Model ini disebut undur rahayu (pindah secara baik-baik). Masuk pada kategori ini, bisa jadi karena alasan menikah dengan orang luar Kanekes.
Kedua, pindah karena diusir dari wilayah Tangtu. Lazimnya akar persoalannya ialah karena melanggar ketentuan pikukuh karuhun.
–
Sedangkan lapis terluar ialah kelompok Dangka atau Urang Dangka. Dari beberapa sumber penelitian etnografis dicatat, dari segi berpakaian saja, antara Urang Dangkadibandingkan masyarakat luar nisbi tidak terlihat perbedaannya.
Kawasan ini memiliki tingkat kemandalaan yang paling rendah dan terletak di luar kawasan Panamping. Secara ketentuan pikukuh karuhun, standar moralitas adat yang ditetapkan bagi masyarakat Dangkatentu lebih longgar dibandingkan dengan masyarakat Panamping.
Wilayahnya, secara administratif, berada di luar wilayah Desa Kanekes. Tak sedikit di antara penduduk ini telah memeluk Islam atau bahkan memakai jilbab. Toh demikian terkadang mereka masih tetap mengikuti aturan-aturan adat utamanya saat berlangsung upacara atau ritual yang dianggap sakral.
Keberadaan masyarakat Dangka mulanya berasal dari perpindahan masyarakat Panamping. Selain itu, laiknya masyarakat Panamping, sejarah kelompok masyarakat ini lazimnya juga berasal dari dua sebab. Pertama, karena keinginan sendiri bermaksud menjadi masyarakat yang hidup lebih bebas dari ketentuan pikukuh karuhunyang berlaku di masyarakat Panamping.
Kedua, karena pengusiran dari kelompok masyarakat Panamping akibat telah melanggar ketentuan pikukuh karuhun. Pada kasus yang terakhir, warga Dangka masih dibolehkan kembali menjadi warga Panamping setelah menjalani upacara penyucian kembali.
Pikukuh Karuhun
Untuk menjalankan tugas kosmisnya yaitu tapa, Urang Kanekes berpegang teguh pada pikukuh karuhun. Prinsip utama buyutseringkali disarikan dalam ungkapan ‘lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung’ (panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung).
Untuk mempertahankan pikukuh itu, mereka memiliki aturan yang disebut ‘buyut’. Istilah ini dalam bahasa Indonesia berarti larangan atau tabu, atau juga berarti ‘pamali’ dalam bahasa Sunda. Ini berupa aturan atau norma-norma larangan yang tak boleh dilanggar sama sekali.
Ada ratusan butir buyut dalam pikukuh karuhun. Di antara ratusan butir buyut itu, Urang Kanekes mengenal sepuluh buyutsebagai pedoman hidup mereka sehari-hari. Disebut dengan nama Dasa Sila, kesepuluh norma itu, antara lain:
1. Moal megatkeun nyowa nu lian (tidak membunuh orang).
2. Moal mibanda pangaboga nu lian(tidak mengambil barang orang lain)
3. Moal linyok moal bohong (tidak ingkar dan tidak berbohong)
4. Moal mirucaan kana inuman nu matak mabok (tidak mabuk-mabukan)
5. Moal midua ati ka nu sejen (tidak menduakan hati pada yang lain)
6. Moal barang dahar dina waktu nu ka kungkung ku peting (tidak makan di waktu
7.
8. Moal make kekemhangan jeung seuseungitan (tidak memakai wangi-wangian)
9. Moal ngageunah-geunah geusan sare(tidak melelapkan diri dalam tidur)
10. Moal nyukakeun ati ku igel, gamelan, kawih, atawa tembang (tidak menyenangkan hati dengan tarian, musik, atau nyanyian)
11. Moal make emas atawa salaka (tidak memakai emas atau perak)