JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) merontokkan separuh dari total 260 perkara sengketa hasil Pileg 2019.
Berdasarkan jadwal yang diposting Mahkamah Konstitusi di websitenya, Kamis (8/8/2019), majelis akan membacakan 66 putusan. Hari ini, adalah hari ketiga majelis membacakan putusan, jika di total per hari ini, berarti MK sudah membacakan putusan sebanyak 205 perkara. Hari ini, Jum’at (9/8), MK akan melanjutkan membacakan 55 perkara.
Hingga Rabu (7/8/2019) sore, sebanyak 49 perkara telah dimentahkan oleh MK baik melalui putusan maupun ketetapan. Sehari sebelumnya, sebanyak 64 perkara juga dikandaskan dari 67 perkara yang dibacakan putusan atau ketetapannya.
Beraneka alasan hukum penyebab ratusan perkara dirontokkan. Untuk permohonan yang ditarik atau pemohon tidak datang saat sidang, MK menerbitkan ketetapan.
Untuk permohonan yang ditolak, MK menilai dalil-dalil perbedaan penghitungan suara dengan Komisi Pemilihan Umum tidak dapat dibuktikan via alat bukti berupa formulir C1, DAA1, atau DA1. Alasan lainnya, tidak ada laporan ke Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) ihwal keberatan saat rekapitulasi.
Mayoritas permohonan dinyatakan MK tidak dapat diterima alias tidak memenuhi syarat formil. Alasannya seperti ketidaksesuaian posita dengan petitum, renvoi atau perbaikan permohonan terlalu substansial, pemohon tidak memiliki kedudukan hukum, hingga kelewatan meminta MK mengambil kewenangan lembaga penyelenggara pemilu.
“Bukan kewenangan Mahkamah untuk mendiskualifikasi calon. Selain itu, lembaga yang berwenang menetapkan kursi adalah termohon [KPU],” kata Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna saat membacakan pertimbangan Putusan MK No. 166-04-27/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019 yang dimohonkan oleh Partai Golkar.
Sementara itu, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ilham Saputra menilai putusan MK telah otomatis menepis tuduhan dari pemohon terhadap lembaganya. Pasalnya, penggugat kerap mendalilkan jajaran KPU sebagai pelaku penggelembungan atau pergeseran suara, terutama untuk pihak terkait.
“Kami optimistis bahwa apa yang kami lakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” ujarnya.
Penelusuran Politik Uang Tidak Berhenti di Masa Pemilu, Tapi Sampai Kebenaran Terungkap
Dibagian lain, Politik uang dalam Pemilu 2019 masih dianggga sebagai perilaku yang menciderai upaya bangsa ini membangun demokrasi yang sehat. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyatakan, penelusuran praktik uang tidak hanya berhenti pada masa Pemilu, tapi berlanjut sampai kebenaran terungkap.
Upaya KPU mencegah praktik politik uang dengan menggandeng Pusat Pelaporan dan Analisis Traksaksi Keuangan (PPATK) sejauh ini memang belum mampu menekan praktik politik uang.
Komisioner KPU Hasyim Asyari mengatakan, kerjasama antara KPU dengan PPATK memudahkan penelurusan kejadian politik uang dalam pesta demokrasi, meskipun hingga kini politik uang masih menggunakan cara-cara konvensional yang sulit dilacak PPATK.
“Tapi pertanyaan begini itu dengan asumsi laporan dana kampanye, ketika laporan awal dana kampanye salah satu item yang harus disampaikan adalah rekening khusus dana kampanye, kenapa rekening khusus dana kampanye dibedakan, karena salah satu sumber dana kampanye itu adalah dana dari parpol, dan menurut UU Parpol, partai juga harus punya rekening sendiri, rekening partai, asumsinya apa, transfernya antar bank, ini yang bisa dilacak, kalau transfernya tidak lewat bank, ini kan yang jadi problem dan kayanya mungkin lebih, asumsi saya ya belum bisa membuktikan, tapi asumsinya lewat darat yang paling banyak daripada yang lewat transfer itu ,” ujar Hasyim.
Larangan melakukan politik uang diatur dalam Pasal 523 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Kandidat Pemilu yang kedapatan melakulan politik uang atau money politics dapat dipidana maksimal 4 tahun hukuman penjara dan denda sebesar Rp 48 juta.
Di samping itu, pencalonan seseorang juga bisa dibatalkan apabila terbukti melakukan politik uang saat masa pemilihan.
Deputi Pemberantasan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Firman Shantyabudi mengatakan sepanjang masa pemilu 2019 sampai sekarang, memang PPATK baru menemukan satu caleg yang diduga melakukan politik uang. Namun upaya melacak politik uang itu terhambat, karena diduga para caleg sudah menyiapkan dana kampanye dari dua sampai tiga tahun sebelum 2019, sehingga kemungkinan untuk ditemukan potensi pelanggaran pencucian uang dalam pemilu pada saat ini cukup sulit.
“Sebetulnya dia hanya menyiasati karena kan kalau kita baru ambil sekarang ambil transaksi itu kan tercatat. Tapi kalau dia cicil dari sekian tahun yang lalu untuk 2019 dan uang itu tidak lagi beredar di transaksi keuangan, sama rekening, PPATK gak bisa baca, bank pun gak bisa baca, dia hanya tahunya di ambil,” jelasnya.
Meskipun demikian PPATK akan tetap menelusuri apabila memang ada dugaan pencucian uang, termasuk potensi dana asing yang membiayai dana kampanye, yang tidak diperbolehkan oleh UU Pemilu. Pihaknya telah berkoordinasi dengan sejumlah pihak terkait, termasuk PPATK yang ada di luar negeri, dan penelusuran ini tidak berhenti pada masa pemilu saja, namun akan diteruskan sampai kebenaran terungkap.
Sementara untuk politik uang, Komisioner Bawaslu, Fritz Edward Siregar menilai persoalan itu selalu berulang di Pemilu sehingga dibutuhkan penanganan ekstra untuk menjerat unsur subjek, pelaku, maupun penerima politik uang.
Bawaslu bahkan telahemberikan catatan kepada KPU agar praktik politik uang bisa dihindari pada Pemilu berikutnya, yang terdekat Pilkada serentak 2020.
“Aspek regulasi menjadi instrumen paling penting dalam melaksanakan Pilkada 2020. Regulasi harus ditata dengan komprehensif,” ujar Fritz.
Pilkada 2020 bakal digelar di 270 daerah. Rinciannya adalah 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. (*)