CekJakarta – Memberikan perlindungan kesehatan kepada warga masyarakat bukan hanya merupakan amanat perundangan yang berlaku dengan semangat menjamin hak dasar manusia. Tapi juga wujud komitmen negeri dalam meningkatkan kualitas hidup manusia.
Di sebuah negeri, nun jauh di sana, otoritas negeri memberlakukan kebijakan pelayanan kesehatan yang, boleh dikata, spektakuler. Betapa tidak. Dengan status ekonomi sebagai negara miskin, sistem kesehatan di negeri itu diakui sebagai yang terbaik di dunia.
Dalam sebuah fragmen kisah hidup, pada sekitar 2002, seorang bernama lelaki dengan tingkat ekonomi yang rendah terpaksa menjalani pembedahan bypass akibat serangan jantung. Di balik bangunan kusam sebuah rumah sakit, operasi kelas kakap terhadap penderita jatung itupun digelar. Tanpa harus mengeluarkan biaya sepeserpun, jiwa lelaki itu bisa tetap berada dalam genggamannya. Sesaat setelah operasi dilakukan, Daisy Martinez, istri dari Jose Luis Cabrera, yang bekerja sebagai pembersih di sebuah kantor di salah satu sudut negeri itu pun serta-merta berkata, “Saya begitu berterima kasih. Mereka menyelamatkan jiwanya.”
Berdasarkan data yang ada, diketahui bahwa di negeri jauh itu, yang tak lain adalah Kuba, Produk Domestik Bruto-nya hanyalah 87 juta USD. Sejumlah media barat bahkan menulis, rata-rata orang Kuba hanya sanggup berbelanja sekitar 20-25 USD per bulan. Artinya, sehari bisa di bawah 1 USD. Namun begitu, nyatanya data-data statistik pokok yang dibuat oleh badan kesehatan dunia (WHO) menunjukkan kemampuan Kuba berada sejajar dengan Amerika Serikat (AS). Sebut saja angka harapan hidup rata-rata seorang anak yang mencapai 77.2 tahun, sedangkan di AS 77,9 tahun. Jumlah anak-anak yang meninggal sebelum hari ulang tahun kelima mereka adalah tujuh per seribu kelahiran hidup, sedangkan di AS angkanya delapan per seribu kelahiran hidup.
Bedanya, jika setiap orang di AS harus membelanjakan dana kesehatan sebesar 6.096 dolar per tahun, di Kuba hanya 229 dolar per tahun. Memang, bukan hanya mayoritas bangunan fasilitas kesehatan yang jauh dari kesan mentereng, ketersediaan obat-obatan di sana pun terkadang kurang. Di rumah-rumah sakit biasa, para pasien bahkan harus membawa perlengkapan pribadi seperti handuk, sprei, sabun, bahkan makanan. Tapi bagaimanapun, semua perawatan kesehatan di sana dapat diperoleh secara gratis.
Bagaimana ceritanya sehingga hal semacam itu bisa terjadi? Rupanya, Kuba memusatkan diri pada pencegahan, selain sistem perawatan kesehatan gratis yang memungkinkan warga segera menemui dokter dan menangani penyakitnya sebelum berkembang dan membutuhkan banyak biaya.
Dan untuk mewujudkan itu, Kuba punya konsep yang disebut medicina general integral (MGI, pengobatan komprehensif dan terintegrasi). Program ini fokus pada penciptaan lingkungan sehat dan menjauhkan rakyat dari penyakit. Di setiap lingkungan penduduk Kuba, ada yang disebut “consultorio”. Setiap consultorio terdiri dari dokter dan beberapa staf, yang langsung melayani penduduk di sekitarnya.
Setiap consultorio melayani sekitar 1.000-1.500 pasien. Dan untuk mengefektifkan daya jangkaunya, consultorio didukung oleh policlínicos, yang memastikan layanan kesehatan 24 jam. Policlínicos melibatkan tenaga kesehatan, spesialis, dan masyarakat setempat yang terlatih. Jangan anggap policlínicos hanya poliklinik biasa. Pasalnya, sejak 2002, Policlínicos telah memberi 22 jenis layanan seperti rehabilitasi, X-ray, USG, optometri, endoskopi, trombolitik, laboratorium klinis, imunisasi, perawatan ibu dan anak, keluarga berencana, diabetes, hingga perawatan lansia.
Selain itu, Kuba juga punya yang disebut “dokter keluarga”, yang mana pasien tidak lagi harus mendatangi dokter, tapi dokterlah yang mendatangi pasien. Konsep “dokter keluarga” berhasil diterapkan karena jumlah tenaga dokter di sana cukup melimpah. Rasio dokter mencapai 1: 148 penduduk.
Komitmen Negara
Boleh jadi, konstitusi di hampir semua negara di dunia menyebutkan bahwa kesehatan merupakan hak dasar manusia. Tapi di Kuba, mandat konstitusi itu diwujudkan dengan layanan kesehatan yang bersifat universal dan gratis. Sistem kesehatan Kuba bahkan bisa menjangkau 100 persen penduduknya, tanpa diskriminasi.
Di Indonesia pun setali tiga uang. Di mana konstitusi dan beragam regulasi turunannya memberi penekanan pada jaminan perlindungan hak konstitusional warga di bidang kesehatan. Komitmen pemerintah menyediakan pelayanan kesehatan terlihat pada kebijakan alokasi anggaran kesehatan yang sudah memenuhi mandat UU Kesehatan No. 36/ 2009, yaitu 5% dari total APBN yang dimulai sejak 2015.
Seiring itu jugalah, Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan lahir, sebagai bentuk manifestasi kewajiban negara dalam menyediakan hak konstitusional itu. Di mana dalam Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945 disebutkan, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
BPJS Kesehatan smerupakan badan hukum yang dibentuk berdasarkan UU No. 24/ 2011 yang bertujuan untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan nasional sebagaimana yang diamanatkan UU No. 40/ 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Terbentuknya BPJS pada 1 Januari 2014 secara otomatis meleburkan Jamsostek, Taspen, Asabri, dan Askes yang telah lama menjadi penyelenggara jaminan kesehatan menjadi satu badan hukum. Seluruh peserta empat penyelenggara jaminan kesehatan tersebut secara otomatis menjadi peserta BPJS.
UU No. 24/ 2011 mewajibkan setiap warga negara untuk menjadi peserta program jaminan sosial. Pemerintah pun berkewajiban untuk mendaftarkan peserta Jamkesda/ Jamkesmas menjadi peserta BPJS. Hal ini karena BPJS Kesehatan juga didesain guna mencapai Universal Health Coverage (UHC) bagi seluruh warga negara Indonesia.
Tapi sejak 2014, defisit merudung BPJS Kesehatan dan terus meningkat hingga diperkirakan mencapai angka Rp32,84 triliun pada 2019. Menurut Menkeu Sri Mulyani, potensi defisit tersebut akan terus meningkat apabila jumlah iuran tetap sama, peserta sama, proyeksi rawat inap sama. “Apabila jumlah iuran tetap sama, peserta sama, proyeksi rawat inap sama, maka defisit BPJS Kesehatan akan meningkat, yakni dari Rp28,35 triliun menjadi Rp32,84 triliun,” ujarnya.
Oleh karenanya, menyikapi persoalan yang melilit BPJD Kesehatan, pemerintah bergerak demi menggembalikan “kesehatan” BPJS Kesehatan. Di antaranya dengan menerbitkan perpres kenaikan besaran iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional BPJS Kesehatan. Kenaikan iuran tentu juga bukan satu-satunya hal yang harus dilakukan demi menyehatkan BPJS Kesehatan. Lembaga tersebut secara bersamaan juga harus melakukan perbaikan terhadap sistem yang telah direkomendasikan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Harus! (nur)