Wiranto Jelaskan 7 Substansi Pokok Revisi UU

CekJakarta – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menegaskan bahwa tidak ada sedikit pun niat Pemerintah atau Presiden Joko Widodo untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurutnya, Pemerintah menyadari jika korupsi merupakan penyakit kronis yang kalau diselamatkan maka dapat memperkuat serta mempercepat pembangunan.

“Kita sadar korupsi ini sudah merupakan penyakit yang kronis, korupsi sudah menggerogoti uang negara, APBN kita yang jumlahnya sampai triliunan, sangat luar biasa besarnya, dan kalau itu dapat diselamatkan maka dapat memperkuat, memperbanyak, mempercepat pembangunan yang kita laksanakan. Jadi tidak mungkin Pemerintah kemudian memperlemah lembaga yang melaksanakan aksi untuk pemberantasan korupsi,” tegasnya saat konferensi pers di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu (18/9/2019).

Menurut Menko Polhukam, Undang-Undang (UU) tidak mungkin abadi. UU dibuat karena kondisi objektif saat ini, sehingga pemerintah bisa membangun keteraturan dalam masyarakat.

“Tapi kondisi ini kan berubah, tatkala kondisi ini berubah maka Undang-Undang tidak boleh kaku, tidak boleh kemudian statis, harus ikut perubahan, apakah perubahan itu karena opini publik atau kepentingan masyarakat. Ini harus kita sadari bahwa memang itulah secara alami, Undang-Undang harus mengalami perubahan,” jelas Menko Polhukam Wiranto.

Dalam kesempatan itu, Menko Polhukam menjelaskan sejumlah pasal yang menjadi pro dan kontra dalam revisi UU KPK ini.

Pertama, Pasal 1 angka 3 dan Pasal 3 tentang kelembagaan yang intinya adalah lembaga KPK termasuk ke dalam ranah kekuasaan eksekutif atau lembaga pemerintah.

Menurut Menko Polhukam, Pasal ini sebenarnya sudah mendasari keputusan dari Mahkamah Konstitusi Nomor 36 PUU-XV/2017, di mana keputusan MK itu bukan keputusan yang final dan mengikat.

Dikatakan bahwa hal ini bukan mengada-ngada, tetapi hanya melaksanakan keputusan Mahkamah Konstitusi. Walaupun KPK termasuk dalam ranah kekuasaan eksekutif atau lembaga pemerintah, tapi dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

“Namun tentu sebagai suatu lembaga pemerintah harus tunduk kepada aturan-aturan perundangan yang ada, dan undang-undang yang ada itu adalah undang-undang dari Mahkamah Konstitusi, yang harus ditaati, bersifat final, dan mengikat. Jadi sebenarnya kita tidak perlu resah karena dalam Trias Politika hanya ada eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sehingga tatkala kemudian MK memutuskan masuk di ranah eksekutif, ya kita terima, karena itu merupakan suatu keputusan yang sudah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi yang sudah melakukan satu pertimbangan-pertimbangan yang kita yakin matang,” kata Menko Polhukam.

Kedua, mengenai Pasal 37E, yaitu tentang pembentukan Dewan Pengawas. Menurut Menko Polhukam, keberadaan Dewan Pengawas dalam institusi KPK ini dibutuhkan untuk kinerja KPK, sehingga sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangannya yang diberikan oleh UU.

Dikatakan bahwa hal ini sejalan dengan aparat penegak hukum yang lain di mana kinerjanya juga diawasi oleh komisi-komisi yang dibentuk, misalnya Kejaksaan Agung yang diawasi oleh Komisi Kejaksaan dan Kepolisian oleh Kompolnas.

Sehingga, lanjutnya, kalau kemudian KPK sebagai bagian dari aparat penegak hukum ada yang mengawasi, maka itu bukan suatu hal yang melemahkan, tapi KPK justru punya legitimasi dan akuntabilitas untuk melaksanakan tugas.

“Di sinilah kadang-kadang orang-orang mengatakan wah itu kan melemahkan karena ada pengawasnya. Padahal dengan pengawas itu justru legitimasinya bisa lebih dijamin, dengan pengawas itu maka tuduhan kesewenang-wenangan tidak akan ada, tidak akan terjadi abuse of power,” jelas Menko Polhukam.

Ketiga, Pasal 12B tentang pelaksanaan penyadapan. Menurut Menko Polhukam, dalam melaksanakan penyadapan dibutuhkan izin tertulis dari Dewan Pengawas agar pelaksanaan penyadapan sesuai dengan due process of law atau berdasarkan kepatuhan terhadap aturan yang ada, sehingga tidak menyimpang dari rule of law.

Ia menjelaskan bahwa hal ini justru memberikan penguatan kepada hak asasi manusia dan menjaga akuntabilitas dalam melaksanakan penyadapan. Sebab, jika bicara tentang hak asasi manusia, maka penyadapan itu melanggar hukum karena hak pribadi seseorang dilanggar dengan apa yang diucapkan dan apa yang dibicarakan itu disadap.

“Kembali tadi harus ada pembatasan, ada aturan yang membatasi itu. Aturannya bagaimana? Izin dari Dewan Pengawas. Sebenarnya ini kalau kita bicara tentang hal-hal yang positif ya semuanya baik-baik saja, karena justru dengan adanya izin maka menghindari tuduhan bahwa KPK mengada-ada, menghindari tuduhan bahwa KPK sewenang-wenang, seenaknya, karena ada Dewan Pengawas tadi yang memberikan justifikasi bahwa penyadapan itu didasarkan kepada suatu kepentingan yang betul-betul dapat dipertanggungjawabkan,” tegasnya.

Keempat adalah mengenai mekanisme menghentikan penyidikan dan penuntutan pada Pasal 40.

Menko Polhukam mengatakan, penghentian penyidikan dan penuntutan memang merupakan bagian dari penyelesaian perkara dengan tujuan memberikan kepastian hukum dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi. Artinya, tidak mungkin menggantungkan status orang menjadi tersangka dalam kurun waktu yang tak terbatas atau menyandera orang menjadi tersangka dengan tidak jelas jangka waktunya, bahkan sampai mati.

“Sebenarnya tatkala KPK bisa menghentikan penuntutan yang tadinya hanya dimiliki Jaksa Agung, maka ini kan penguatan. KPK mempunyai kewenangan untuk menghentikan suatu penyidikan dengan jangka waktu 1 tahun, usulan pemerintah mungkin 2 tahun, nanti kita juga pastikan. Tetapi harus ada kepastian seseorang tatkala ditetapkan sebagai tersangka itu harus diselesaikan dengan hukum,” kata Menko Polhukam.

“Jadi sebenarnya ini bukan melemahkan KPK, tapi justru menempatkan KPK sebagai suatu aparat penegak hukum yang humanis, walaupun tegas, tetapi tetap memperhatikan hak asasi manusia,” lanjutnya.

Kemudian Pasal 43A mengenai koordinasi kelembagaan dengan lembaga penegak hukum yang lain.

Mantan Panglima ABRI ini mengatakan, koordinasi yang dimaksud adalah untuk menyelenggarakan pendidikan kilat atau diklat dan pelatihan dalam penyelidikan dan penyidikan. Sehingga yang tadinya tidak ada, sekarang diselenggarakan diklat dengan penegak hukum yang lain untuk memberikan standarisasi profesionalitas antarpenegak hukum dalam melaksanakan tugasnya.

Menurut Menko Polhukam, hal ini sangat baik karena kewenangan atau keahlian yang kemudian dipastikan ada standarisasi. Daripada mengambil dari sana-sini, tidak terdidik, tidak terlatih, tetapi tiba-tiba menjadi penyidik yang menuntukan nasib orang, maka standarisasi itu perlu dicapai dengan diklat.

“Ini semua saya kira harus kita sikapi sebagai upaya penguatan, sehingga nanti kalau itu dilaksanakan, maka aparat penegak hukum mempunyai standar yang sama tentang aparat-aparat atau petugas yang melaksanakan penyelidikan maupun penyidikan. Kita senang tentunya kalau para penyidik ini mempunyai kualitas, profesionalitas, standarnya sama,” kata Menko Polhukam.

Kemudian yang keenam adalah mekanisme penggeledahan dan penyitaan pada Pasal 47. Menurutnya, sebenarnya pelaksanaan penggeledahan dan penyitaan dalam hukum acara pidana harus mendapat izin dari pengadilan. Sehingga dalam rancangan UU KPK, selain tunduk kepada KUHP, juga diisyaratkan adanya izin tertulis dari Dewan Pengawas.

“Sehingga penggeledahan dan penyitaan itu dari kacamata hukum sah, tapi dari akuntabilitas, dari tuduhan sewenang-wenang, tuduhan seenaknya, dan mengada-ada bisa dihilangkan,” terangnya.

Terakhir, tentang sistem kepegawaian KPK dalam Pasal 1 angka 6, Menko Polhukam menyebutkan sesuai Pasal 1 angka 3 Revisi UU KPK bahwa KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif, sehingga sistem kepegawaian KPK harus tunduk kepada UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang ASN.

Oleh karena itu, adanya Pasal ini sebenarnya untuk lebih memastikan bahwa KPK merupakan bagian dari aparatur sipil negara, maka langkah-langkahnya, kegiatannya, aksinya, itu sudah diperkuat dengan adanya UU ASN. KPK bukan lembaga atau organisasi yang liar.

“Untuk memberikan kepastian hukum kepada pegawai KPK, maka non-ASN ini diberikan waktu paling lama 2 tahun untuk diangkat menjadi ASN, ini sudah sesuai juga dengan peraturan perundang-undangan. Jadi, kalau kita berpikir positif dan tidak apriori, sebenarnya niatnya baik, tapi tatkala kita menyikapi dengan basis tujuan yang berbeda, maka tentu hasilnya juga berbeda,” tandas Menko Polhukam. (pol)