Pentingnya Gotong Royong Dalam Pemberantasan TPPO

CekJakarta – Menyikapi masih maraknya kasus TPPO, pemerintah mengingatkan pentingnya koordinasi, sinkronisasi, dan gotong-royong dalam mencegah tindak pidana tersebut.

Demikian disampaikan Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak Kemenko PMK Ghafur Dharmaputra pada Rapat Koordinasi Nasional Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (GT TPPO) Tahun 2019. Rapat diselenggarakan di, Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur pada 14-17 Oktober 2019.

Mengawali sambutannya, Ghafur menekankan betapa pentingnya koordinasi, sinkronisasi, dan gotong-royong dalam mencegah TPPO. Sebab dengan bergotong royong segala pekerjaan akan menjadi lebih ringan dan mudah. “Mari kita singkirkan ego sektoral. Bekerja bahu membahu demi terberantasnya tindak pidana perdagangan orang,” ajaknya.

Hal penting lainnya, ujar Ghafur adalah komitmen para kepala daerah dalam pemberantasan TPPO. Komitmen tersebut diimplementasikan dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah (Perda) mengenai GT TPPO. Dari 34 Provinsi dan seluruh Kabupaten/Kota,  lanjut Ghafur, baru 32 Provinsi dan sekitar 242 Kabupaten/Kota yang telah memiliki Perda mengenai GT TPPO. “Saya harap kita memiliki komitmen untuk bersama-sama melaksanakan pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang,” ujarnya

Menurut Ghafur, kasus TPPO banyak dialami oleh perempuan dan anak, terutama para PMI, untuk itu pemerintah telah bertekad memberikan perlindungan bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI) dimulai  sejak calon pekerja migran terdaftar sebelum bekerja, selama bekerja di luar negeri hingga tiba kembali ke daerah asal. Hal tersebut dibuktikan dengan dikeluarkannya berbagai regulasi mengenai TPPO diantaranya UU 21/2007 tentang Pemberantasan TPPO.

Ghafur mengatakan, sejak UU 21/2007 diberlakukan, sejumlah capaian penting diraih oleh pemerintah dalam melaksanakan pencegahan dan penanganan TPPO seperti, pemerintah meratifikasi Konvensi ASEAN Menentang Perdagangan Orang, khususnya perempuan dan anak melalui UU Nomor 12 tahun 2017. Di tahun yang sama, pemerintah menerbitkan UU Nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan PMI.

“Ini adalah wujud komitmen untuk menjamin agar warga negara, khususnya PMI agar terlindungi dari perdagangan manusia, perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan Lian yang melanggar hak asasi manusia,” terang Ghafur.

Tidak cukup sampai disitu, pemerintah kata Ghafur, terus memperkuat regulasi dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban TPPO. Pemerintah juga ikut melibatkan masyarakat luas dalam pencegahan TPPO melalui Community Watch di 31 Provinsi mencakup 52 Kab/Kota dan 502 desa dengan 2.712 agen perubahan. Pemerintah juga ikut mendorong pembentukan 41 Desa Peduli Buruh Migran (Desbumi) dan 139 Desa Migran Produktif (Desmigratif) untuk penguatan pencegahan TPPO di lapisan akar rumput.

Selain capaian, ungkap Ghafur, masih banyak permasalahan yang dihadapi dalam upaya pencegahan dan penanganan TPPO. Pertama, maraknya praktek perdagangan orang dengan memanfaatkan kemajuan teknologi. Kedua, kurangnya komitmen, pemahaman, dan dukungan dari pemangku kepentingan di daerah, termasuk dalam pengalokasian anggaran khusus untuk program pemberantasan TPPO. Ketiga, belum terpadunya pengelolaan data TPPO.

“Ke depan GT TPPO diharapkan dapat mengantisipasi berbagai tantangan seperti bergesernya modus-modus TPPO seiring dengan kemajuan teknologi. Meningkatkan komitmen para pemangku kepentingan dengan mengalokasikan anggaran yang memadai untuk program pemberantasan TPPO. Mewujudkan data base terpadu dengan sistem online,” jelas Ghafur.

Ghafur juga mengungkapkan akar masalah terjadinya TPPO. Menurutnya kemiskinan, kesulitan hidup, dan kurangnya pengetahuan menjadi penyebab. Oleh karena itu, upaya pencegahan melalui pemberdayaan, terutama pemberdayaan ekonomi perlu diprioritaskan. Termasuk mencegah terulangnya korban TPPO setelah dipulangkan ke daerah asal.

Lebih jauh, Ghafur menekankan pentingnya pencegahan yang difokuskan  pada sosialisasi yang komprehensif dan berkelanjutan. Melalui sosialisasi diharapkan terbentuk pemahaman dan penyadaran semua pemangku kepentingan hingga seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian sindikat perdagangan orang tidak mempunyai celah untuk melakukan kejahatan. “Tidak kalah pentingnya, penajaman kebijakan dan penguatan kelembagaan GT TPPO agar dapat menjalankan tugas dengan baik,” ujarnya.

Sementara, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Vennetia R. Danes mengatakan, TPPO merupakan kejahatan kemanusiaan yang akar masalahnya kompleks, beragam, dengan modus yang terus berkembang. Untuk itu dalam memberantas TPPO dari hulu sampai hilir di Indonesia diperlukan sinergi dan harmonisasi dari seluruh pihak terkait, mulai dari keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan, dunia usaha, lembaga masyarakat, dan instansi pemerintahan di seluruh tingkatan.

“Dengan mengangkat tema ‘Mari Bersama Kita Berantas TPPO’, Rakornas tahun ini diselenggarakan sebagai wadah berbagi informasi tentang kebijakan-kebijakan dan membahas isu-isu terbaru yang muncul dalam pencegahan dan penanganan TPPO, evaluasi kelembagaan GT TPPO, hingga mencari solusi bersama yang diperlukan untuk mengatasi berbagai tantangan yang ada,” terang Vennetia.

Rakornas yang diikuti seluruh anggota GT TPPO Provinsi, Kab/Kota se-Indonesia, LSM, Akademisi, serta seluruh OPD terkait se-provinsi NTT secara resmi dibuka oleh Menteri PPPA yang diwakili oleh Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA. Turut hadir mewakili Gubernur NTT, Staf Ahli Bidang Hukum dan Pemerintahan Provinsi NTT, Samuel Pakereng. Acara kemudian dilanjutkan dengan  konferensi Pers dan diskusi paralel yang terbagi dalam 4 kelas. Sebelumnya, telah di launching juga buku laporan Pencegahan dan Penanganan TPPO oleh Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak KemenkoPMK dan Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA. (pmk)