Oleh: Junaidi Rusli
Internet publik kini menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Pemerintah daerah berlomba-lomba menyediakan Wi-Fi gratis di ruang publik, sekolah, hingga taman kota. Namun di Tangerang Selatan (Tangsel), program pengadaan internet yang menelan puluhan miliar rupiah justru meninggalkan ironi. Alih-alih memberi kemudahan, banyak warga mengeluhkan titik hotspot yang dipasang lemot, bahkan tidak bisa diakses.
Publik wajar bertanya: bagaimana mungkin anggaran sebesar itu tidak menghasilkan kualitas layanan yang layak?
Antara Laporan dan Realita
Jika melihat dokumen resmi, tujuan program ini cukup ideal: menghadirkan akses digital yang merata, mendukung pendidikan, dan memperluas literasi teknologi. Sayangnya, realita di lapangan menunjukkan jurang yang lebar. Banyak titik Wi-Fi yang hanya terpasang perangkat, tetapi tidak menyuplai koneksi yang memadai.
Ketidaksesuaian antara rencana dan hasil ini menimbulkan dugaan: apakah perangkat yang dipasang sesuai spesifikasi kontrak? Apakah titik pemasangan melalui kajian kebutuhan, atau sekadar formalitas agar proyek tampak berjalan?
Rawan Pemborosan Anggaran
Proyek pengadaan teknologi, apalagi bernilai miliaran rupiah, rentan menjadi lahan pemborosan. Potensi mark-up harga, kualitas perangkat yang diturunkan, hingga penentuan vendor sarat kolusi bukanlah hal baru di negeri ini. Tidak heran bila hasil akhirnya jauh dari tujuan.
Jika kondisi ini dibiarkan, publik hanya akan menerima “papan nama titik Wi-Fi” tanpa internet yang bisa diakses. Ini sama saja dengan pemborosan uang rakyat.
Tuntutan Transparansi dan Audit
Kominfo Tangsel tidak boleh menutup diri. Rincian belanja, vendor pelaksana, hingga hasil uji koneksi harus dibuka secara transparan. Publik berhak tahu ke mana larinya puluhan miliar anggaran.
Di sisi lain, DPRD sebagai wakil rakyat tidak bisa berdiam diri. Pengawasan yang lemah hanya akan membuat proyek serupa terulang. Audit menyeluruh harus dilakukan, dan jika ditemukan indikasi penyimpangan, jalur hukum mesti ditempuh.
Penutup
Internet bukan sekadar fasilitas tambahan, tetapi infrastruktur pengetahuan yang mendukung kemajuan masyarakat. Jika proyek pengadaan internet justru menimbulkan masalah baru, maka ada yang salah dalam perencanaan maupun pengelolaannya.
Pertanyaan sederhana pun muncul: apakah Kominfo Tangsel benar-benar bekerja untuk membuka akses digital masyarakat, atau sekadar membuka proyek bernilai miliaran tanpa manfaat nyata?