Banyak sekali kegaduhan di negeri kita; mulai dari perubahan UU KPK yang terkesan dipaksakan di akhir periode pemerintahan Jokowi 2014-2019, kemudian kegaduhan Perpu 1/2020 yang kemudian menjadi UU. Kekisruhan politik dan hukum mengundang banyak pernyataan kritis dari banyak pihak. Kasus Masiku yang hilang misterius dan terkesan dibiarkan menghilang, diskriminasi perlakuan pemeriksaan, penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus yang ‘telanjang’ di depan public. Kegaduhan kebijakan pengendalian covid-19 yang ambigu, bahkan terkesan ada ‘konflik’ antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi DKI Jakarta, pengesahan RUU Ciptaker (omnibus Law) yang membuat gaduh ratusan ribu buruh, kegaduhan TNI yang ikut-ikutan menurunkan baliho Habib Rizieq Syihab, kegaduhan kepolisian mengejar Habib Rizieq Syihab dan Gubernur Anies Baswedan untuk diperiksa terkait kerumunan acara Maulid di beberapa tempat, dan ngototnya Walikota Bogor Bima Arya yang memaksa Habib Rizieq Syihab untuk di tes PCR, serta memperkarakan RS Ummi yang dianggap menghalang-halanginya dalam menjalankan tugas menjaga warga Bogor dari ancaman Covid-19. Kegaduhan demi kegaduhan terus menerus terjadi, membuat pemerintah seolah kehilangan orientasi dalam tugas utamanya membangun negeri ini.
Betapa tidak, situasi dan kondisi negeri kita sungguh sangat memprihatinkan, dan patut kita cermati bersama. Wabah covid 19 semakin tak terkendali, jumlah korban terus meningkat. Sampai tulisan ini dibuat (2 Desember 2020) pertambahan kasus perhari semakin meningkat, bertambah 5.533 per hari ini. Total kasus positif terpapar Corona di Indonesia mencapai 549.508. Korban wafat 17.199 orang. Berdasarkan catatan PB IDI sejak Maret hingga Oktober 2020 terdapat total 253 petugas medis dan kesehatan yang wafat akibat terinfeksi Covid-19. Tidak nampak adanya ketegasan dan kejelasan strategi penanggulangan wabah covid 19 ini, padahal gelontoran dana sudah lebih dari 800 T !. Strategi pengendalian wabah covid 19 seringkali ambigu dengan permasalahan ekonomi. Alhasil, sampai sekarang baik wabah ataupun kondisi ekonomi justru semakin parah dan belum terkendali.
Kondisi ekonomi kita merosot ke jurang resesi yang dalam hingga di kuartal II-2020 dengan pertumbuhan minus 5,3% year on year, meski kemudian pada kuartal III-2020 mulai membaik tapi masih dalam kondisi minus 3,49%. Jumlah pengangguran meroket, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah pengangguran periode Agustus 2020 mengalami peningkatan sebanyak 2,67 juta orang. Dengan demikian, jumlah angkatan kerja di Indonesia yang menganggur menjadi sebesar 9,77 juta orang. Jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 26,4 juta jiwa atau 9,78%. Angka ini meningkat 1,63 juta jiwa dibandingkan pada September 2019. Pada saat yang bersamaan, ketimpangan sosial sangat nyata di negeri kita. Satu persen warga kaya menguasai 50,3 % aset atau kekayaan nasional. Penyebabnya, orang-orang yang berada di kelompok 1 persen itu menguasai modal, sumber daya alam, hingga akses ke pemerintah dan lembaga keuangan.
Sementara itu, dunia Pendidikan Nasional juga mendapat sorotan dari dunia. Pendidikan di Indonesia ‘berjalan di tempat’, belum banyak kemajuan selama 20 tahun terakhir. Setidaknya, dari ukuran kemampuan literasi membaca anak-anak Indonesia tetap berada pada peringkat bawah, kalau tidak mau dikatakan terburuk di dunia. UNESCO menyebutkan Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca! Pembelajaran Jarak Jauh yang terpaksa diberlakukan, sangat sarat masalah. Kesiapan infrastruktur jaringan internet, pengembangan teknis pembelajaran, dan kesiapan guru maupun orangtua menjadi sumber-sumber masalah utama. Pendidikan Nasional belum memiliki peta jalan, belum jelas dari mana dan mau kemana arah Pendidikan nasional kita. Pendidikan nasional kita jalan di tempat, dalam kondisi jauh tertinggal dari negara-negara lain di dunia.
Perilaku pejabat, publik figur, dan juga di kalangan masyarakat semakin memprihatinkan, baik di dunia nyata ataupun dunia maya. Korupsi tak berhenti, kriminalitas meningkat, ujaran kebencian, caci maki dengan kata-kata kasar dan kotor semakin menjadi-jadi di kalangan netizen. Masyarakat terbelah, saling bermusuhan dan menumpahkan kebencian satu sama lain. Kondisi negeri yang gaduh dan rapuh semakin memprihatinkan dengan kejadian Tindakan kekerasan pembunuhan di Sigi, Sulawesi Tengah oleh sekelompok Gerakan yang menamakan diri mereka MIT (Mujahidin Indonesia Timur) pimpinan Ali Kalora, dan juga di Papua oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) terhadap para pekerja proyek Trans Papua. Termasuk juga, yang paling nyata merongrong NKRI, adalah deklarasi merdeka oleh Beny Wenda Ketua Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat (ULMWP).
Diperlukan kepemimpinan yang bijak, cerdas dan berkarakter negarawan untuk bersama membangun negeri yang sedang mengalami banyak masalah ini. Pemerintahan Jokowi sebaiknya merubah gaya kepemimpinan yang selama ini terkesan kurang bersikap merangkul semua pihak. Ibarat seorang bapak kepada anak-anaknya, Pemerintah mesti bersikap bijak kepada rakyatnya yang sangat beragam keadaannya, keinginannya, dan karakternya. Pertama, jangan lagi menggunakan hukum untuk mencederai rasa keadilan. Bila hendak menegakkan hukum, siapapun yang melanggar mesti ditindak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Bila pemerintah tidak menjalankan praktek ini, maka sudah pasti akan menimbulkan protes-protes yang berujung kepada pembangkangan sosial.
Kedua, jangan menggunakan buzzer atau tim apapun untuk ‘menyerang’ para pihak yang mengkritik kebijakan pemerintah, apalagi buzzer-buzzer tersebut menyerang dengan kata-kata yang kasar, bahkan kotor, dan pemerintah seolah membiarkan.
Ketiga, dan ini yang paling penting, sudah saatnya mengajak semua pihak untuk bersama melayani rakyat, membangun persatuan dan kesatuan untuk membenahi negeri kita dari situasi dan kondisi yang rapuh ini. Rangkul dan ajak duduk dan dialog bersama semua elemen anak-anak bangsa, biarkan mereka menumpahkan segala keluhan, kritik, protes dan usulan-usulan. Dengan demikian, pasti akan menimbulkan iklim yang kondusif, dan menyemai bibit-bibit persatuan dan dukungan.
Jangan berprasangka buruk bahwa mereka yang berseberangan dengan pemerintah dan sering menyampaikan kritik yang keras dan pedas, mereka hendak menumbangkan pemerintah yang sah. Mereka berbuat seperti itu hanya tidak mau negeri ini berantakan. Pemerintah justru mesti tegas dan keras terhadap mereka yang jelas-jelas ingin memporak-porandakan NKRI: koruptor, pengedar narkoba, teroris, penyebar ajaran dan pikiran sesat yang bertentangan dengan Pancasila, ataupun mereka yang jelas ingin melepaskan diri dari NKRI dan sering membuat kekacauan.
Rakyat menanti dan merindukan Pemimpin yang adil, bijak dan fokus kepada tujuan berbangsa dan bernegara sebagaimana amanat UUD 1945. Merdeka !
Fahmy Alaydroes
Anggota DPR-RI Fraksi PKS