Korupsi Kasus Jual Beli Kasus PTPN Regional 1, Konspirasi Elit Yang Harus Di Bongkar

 

Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara telah mengambil langkah tegas, menusukkan ujung penyidikan pada pejabat teknis BPN dan direktur korporasi, membuka tirai dugaan korupsi masif dalam penjualan aset negara PTPN I kepada Citraland. Tindakan ini, meski disambut baik, hanyalah awal dari sebuah tuntutan logis yang lebih besar.

 

Mata publik, dan lebih penting lagi, mata hukum, kini menatap lurus ke atas, menanti keberanian penegak hukum menarik garis pertanggungjawaban hingga ke simpul kekuasaan politik daerah yang berkuasa pada kurun waktu peristiwa itu terjadi.

Sebab, adalah sebuah kekonyolan logis, jika kita meyakini skema pengalihan Hak Guna Usaha (HGU) menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) untuk megaproyek residensial bernilai triliunan rupiah dapat berjalan mulus, hanya atas inisiatif pejabat eselon tengah.

 

Logika administrasi dan hukum pertanahan menuntut kita untuk jeli, laksana mata elang, membedah cacat prosedural yang ada, yaitu terbitnya HGB tanpa dipenuhinya kewajiban 20 persen lahan kepada negara. Cacat fundamental ini bukan sekadar kelalaian, melainkan bentuk dari data yang paling kokoh, yang menunjukkan adanya keputusan yang disengaja untuk melanggar hukum demi memperkaya korporasi.

 

Inilah inti dari konspirasi senyap, bahwa elit politik di daerah tidak perlu mengeluarkan perintah aktif berupa “amplop tunai” atau memo tertulis untuk memuluskan kejahatan. Mereka hanya perlu menggunakan otoritas tertinggi yang mereka miliki untuk tidak bertindak.

 

Jabatan Kepala Daerah, dalam hal ini Bupati saat itu, menempatkannya sebagai penanggung jawab utama atas kepatuhan tata ruang dan hukum di wilayahnya. Pembangunan skala raksasa, yang melibatkan perubahan status ribuan hektar lahan, pasti berada dalam domain kendali strategisnya.

 

Pertanyaan yang tajam dan terukur bukan lagi tentang “apakah ia tahu,” tetapi: mengapa proyek yang melanggar kewajiban hukum primer—yang merugikan negara secara terang-terangan—tetap dibiarkan berjalan?

 

Di sinilah konstruksi logika hukum pidana korupsi harus ditegakkan. Sikap pasif atau pembiaran yang dilakukan seorang pejabat yang memiliki kewenangan penuh untuk mencegah kerugian negara, dapat dijerat melalui Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi, yaitu penyalahgunaan kewenangan untuk menguntungkan pihak lain.

 

Pembiaran oleh pemegang otoritas tertinggi ketika aset 20 persen yang seharusnya menjadi milik publik menguap ke tangan korporasi bukanlah netralitas; itu adalah persetujuan diam-diam yang setara dengan tindakan aktif. Kegagalan sang pemimpin bertindak, padahal ia berwenang dan berkewajiban untuk memastikan kewajiban HGU dipenuhi, adalah pintu masuk bagi penyalahgunaan kewenangan.

 

Jika proses hukum ini berhenti pada level teknis, kasus Citraland hanya akan menciptakan preseden bahwa korupsi politik dapat bersembunyi di balik dalih ketidaktahuan.

 

Untuk itu rakyat berharap dan percaya penuhi kepada profesionalitas Kejaksaan Agung dan Kejati Sumut untuk melangkah lebih jauh. Ini adalah momentum krusial untuk membuktikan bahwa hukum berlaku bagi semua, tanpa memandang kedudukan politik.

 

Bukti kerugian negara sudah ada, bukti penyimpangan prosedural sudah tersaji di atas kertas perizinan.

 

Kini, atas nama rakyat, tuntutlah pertanggungjawaban dari simpul administrasi dan politik tertinggi.

 

Keberanian untuk menarik semua aktor yang terlibat, tanpa terkecuali mantan pemimpin daerah yang berkuasa saat masalah ini berproses, adalah satu-satunya jalan logis dan terukur untuk menuntaskan konspirasi yang merugikan negara ini secara masif.

 

Agung Nugroho

Jaringan Masyarakat Anti Korupsi

(JAMKI)